JENDELANUSANTARA.COM, Jenewa — Tragedi kemanusiaan terus berlangsung di Gaza. Sedikitnya 798 warga Palestina tewas ketika mencoba mengakses bantuan kemanusiaan sejak akhir Mei 2025. Angka itu disampaikan Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), Jumat (11/7/2025), di Jenewa.
Dari jumlah tersebut, 615 orang tewas di sekitar pusat distribusi bantuan yang dikelola Yayasan Kemanusiaan Gaza, sementara 183 lainnya meninggal di sepanjang jalur konvoi bantuan. OHCHR menyatakan, insiden-insiden itu melibatkan langsung kekuatan militer Israel.
”Warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan, menjadi korban saat hanya ingin mendapat makanan dan air,” ujar juru bicara OHCHR dalam jumpa pers.
Laporan ini mempertegas kekhawatiran komunitas internasional terhadap sistem distribusi bantuan yang saat ini berlaku di Gaza. Awal Juli, sebanyak 169 organisasi kemanusiaan mengeluarkan seruan bersama agar sistem distribusi bantuan dikembalikan kepada mekanisme yang dipimpin PBB.
Mereka mengutip sejumlah laporan bahwa warga Palestina kerap menjadi sasaran tembakan ketika berada di titik distribusi atau menunggu bantuan. Situasi diperburuk dengan diberlakukannya sistem distribusi baru yang dipimpin Amerika Serikat dan Israel, melalui Yayasan Kemanusiaan Gaza.
Dalam pernyataan bersama, organisasi-organisasi itu—yang mencakup lembaga dari Eropa, AS, dan Israel—menyebut sistem baru sebagai “tidak netral dan membahayakan warga sipil”. Mereka menyoroti fakta bahwa banyak lembaga bantuan menolak bekerja sama dengan yayasan itu karena kaitannya dengan otoritas Israel.
”Distribusi yang seharusnya menyelamatkan justru menghilangkan nyawa,” demikian bunyi pernyataan tersebut.
Hingga Maret lalu, PBB masih menjadi koordinator utama distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza. Namun, operasi mereka tersendat setelah Israel memperketat blokade atas wilayah tersebut.
Bantuan kemanusiaan mulai kembali masuk ke Gaza sejak akhir Mei, tetapi dikendalikan oleh sistem distribusi baru. OHCHR menegaskan bahwa situasi ini tidak bisa dibiarkan dan mendesak perlindungan penuh terhadap warga sipil sesuai hukum internasional. (ihd)













