JENDELANUSANTARA.COM, Bandung — Harga kelapa parut di sejumlah pasar tradisional melonjak hingga tiga kali lipat dalam sebulan terakhir, menjadi Rp25.000 per butir. Kenaikan ini menimbulkan efek berantai pada harga makanan berbasis santan, dari kuliner rumah tangga hingga produk jajanan pasar.
Pantauan jendelanusantara.com, lonjakan harga terjadi sejak sebelum Lebaran dan terus berlanjut hingga akhir April 2025. Di Bandung, kelapa ukuran kecil kini dijual Rp20.000 per butir, sementara yang besar dibanderol Rp25.000 per butir. Sebelumnya, harga kelapa hanya berkisar Rp8.000-Rp10.000 per butir.
“Harga kelapa sekarang bikin pusing. Biasanya saya bisa beli lima butir buat jualan cendol, sekarang baru tiga butir saja sudah Rp75.000,” kata Atin Sumiati, pedagang minuman tradisional di kawasan Sarijadi, Minggu (20/4/2025).
Menurut Atin, selain mahal, pasokan kelapa juga terbatas. Ia menduga penurunan pasokan dari distributor dipicu oleh meningkatnya ekspor kelapa utuh dan kelapa olahan ke luar negeri, terutama ke China.
Hal senada disampaikan Encum, pedagang soto di Pasar Kosambi. Ia mengaku kesulitan menjaga harga jual tetap terjangkau. “Sekarang bukan cuma kelapa parut yang mahal, santan instan juga naik. Santan Kara yang kecil biasanya Rp3.000, sekarang Rp7.000. Yang Sasa malah lebih mahal lagi,” ungkapnya.
Kenaikan harga ini berimbas pada ukuran porsi makanan yang dijual. Sebagian pedagang memilih mengurangi jumlah santan dalam masakan, sebagian lain menaikkan harga jual, terutama untuk menu rendang, opor, atau kue basah.
Disundul Ekspor
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor kelapa utuh Indonesia sepanjang Januari–Maret 2025 mencapai 63.000 ton, naik 28 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. China menjadi negara tujuan utama, dengan kontribusi lebih dari 40 persen ekspor nasional. Selain itu, permintaan kelapa olahan dari Uni Emirat Arab dan India juga mengalami peningkatan.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat, Arif Prakoso, mengakui peningkatan ekspor berdampak pada pasokan domestik. “Permintaan dari luar negeri sedang tinggi. Karena harga ekspor lebih menguntungkan, banyak petani dan pengepul memilih menjual ke luar negeri ketimbang pasar lokal,” katanya.
Pemerintah daerah tengah berkoordinasi dengan pelaku usaha dan koperasi petani untuk memastikan pasokan dalam negeri tetap stabil. Namun, hingga kini belum ada pembatasan ekspor atau intervensi harga.
Bagi pedagang dan konsumen, ketidakpastian harga kelapa ini menjadi pukulan tersendiri. “Kalau begini terus, bisa-bisa nanti kita jual soto tanpa santan,” keluh Encum. (ihd)













