JENDELANUSANTARA.COM, Jakarta – Rambutnya disisir rapi. Di balik meja kayu, Gibran Rakabuming Raka berbicara tenang ke arah kamera. Tak ada musik latar. Tak ada grafis berlebihan. Hanya suara Gibran, Wakil Presiden Republik Indonesia, yang berbicara soal bonus demografi, tantangan global, dan Timnas U-17. Dua video monolog yang ia unggah pada 19 dan 22 April 2025 itu segera menjadi perbincangan di ruang-ruang digital dan bisik-bisik elite politik.
Video pertama berdurasi 6 menit 19 detik. Gibran menyebut masa depan bangsa bergantung pada 208 juta penduduk usia produktif yang akan mendominasi demografi Indonesia 2030–2045. Ia mengajak generasi muda untuk bermimpi besar. Di video kedua, Gibran memuji keberhasilan tim nasional Indonesia U-17 lolos ke Piala Dunia. Ia menyebutnya sebagai hasil kerja keras, menyebut nama pelatih dan pemain satu per satu. Ada narasi kebanggaan, ada sentuhan emosi.
Namun, bukan soal substansi yang ramai dibicarakan, melainkan motif di baliknya. Gibran yang selama ini cenderung diam, tiba-tiba tampil ke depan dengan dua monolog penuh skrip. Apakah ia sedang menyiapkan panggungnya sendiri? Apakah ini sinyal menuju 2029?
“Wapres itu serba salah,” ujar Muhammad Sarmuji, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, dalam video lain di akun YouTube Tribun.com. “Terlalu menonjol salah, tenggelam juga salah.”
Gibran memang tak banyak tampil di depan publik selama menjabat. Ia lebih sering muncul di balik layar: mengecek program Makan Bergizi Gratis (MBG), menyapa warga saat peluncuran Cek Kesehatan Gratis (CKG), sesekali mendampingi Presiden Prabowo Subianto. Namun sorotan kamera selalu lebih setia mengikuti Prabowo. Gibran seolah menjadi figuran dalam drama kekuasaan.
Sarmuji tak menampik bahwa monolog itu bisa dibaca sebagai strategi menjaga eksistensi. “Dia sedang memantik kesadaran publik terhadap isu-isu penting,” katanya. Menurutnya, Presiden Prabowo tak keberatan Gibran mengambil porsi lebih. “Pak Prabowo itu enggak baper.”
Cak Imin juga santai. Ketua Umum PKB ini menilai wajar jika Wapres mulai aktif bicara. “Wajar saja Wapres berbicara. Itu biasa saja.”
Tapi publik politik tak mudah diredam. Di antara pujian dan sinisme, muncul tafsir lain: bahwa ini bukan sekadar monolog. Ini prolog. Sebuah pembuka menuju babak baru Gibran, mungkin di Pemilu 2029. Jika benar, maka monolog ini bukan hanya percakapan satu arah, melainkan panggilan pada publik: “Saya masih ada. Dan saya sedang bersiap.”
Di istana yang ramai oleh suara-suara kekuasaan, Gibran memilih berbicara sendiri.
Dan justru di sanalah semua orang mendengarnya. (ihd)