JENDELANUSANTARA.COM, Yogyakarta -Ular-ular itu muncul diam-diam di halaman rumah, selokan, atau tumpukan kayu belakang dapur. Kadang warnanya hijau pucat, kadang belang-belang cokelat, atau hitam mengilap dengan leher yang siap mengembang. Sepanjang Januari hingga Juli 2025, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (Damkarmat) Kota Yogyakarta sudah 86 kali mendapat telepon darurat untuk mengevakuasi reptil melata itu.
Angka itu menjadikan ular sebagai “tamu tak diundang” kedua terbanyak di pusat layanan darurat Damkarmat—hanya kalah dari sarang tawon yang sudah 150 kali disapu bersih. “Paling sering saat hujan deras atau panas terik berkepanjangan,” ujar Kepala Damkarmat Kota Yogyakarta, Taokhid, Jumat, 15 Agustus 2025. Perubahan cuaca, katanya, memaksa ular keluar dari sarang mencari tempat kering atau mangsa baru.
Meski sudah kenyang pengalaman, petugas Damkarmat tetap berlatih. Rabu, 13 Agustus 2025, halaman markas mereka diisi kotak kaca, karung, tongkat hook, dan botol plastik besar. Janu Wahyu Widodo, pendiri Exalos Indonesia—komunitas pencinta satwa eksotik—memimpin sesi. Materinya lengkap: mengenal ciri-ciri ular berbisa, teknik menangkap kobra dengan aman, hingga prosedur menangani korban gigitan.
“Mayoritas ular sebenarnya tidak berbahaya,” kata Janu. Di Yogyakarta, beberapa jenis berbisa yang kerap muncul adalah kobra jawa, weling, dan ular tanah. Tapi piton juga tetap dianggap ancaman: tubuhnya besar, lilitannya bisa mematahkan tulang, dan gigitannya kuat. Petugas belajar menangkap ular kecil dengan toples atau botol, sedangkan yang besar dijinakkan memakai grabstick dan dimasukkan ke karung.
Sesi terakhir: pertolongan pertama korban gigitan. Janu menekankan imobilisasi bagian tubuh yang tergigit. “Racun ular menyebar lewat getah bening. Menghambatnya berarti membatasi gerak,” ujarnya. Pesan itu disimak serius para petugas—karena, di kota yang kian padat ini, pertemuan manusia dan ular agaknya akan makin sering terjadi. {ihd)













