Menurut dia, penggunaan barang ilegal sebagai bantuan justru berpotensi memicu masuknya kiriman balpres baru dengan dalih kemanusiaan. “Jangan sampai nanti gara-gara itu, banyak lagi balpres masuk dengan alasan kan bagus buat bencana,” ujarnya.
Purbaya menegaskan pemerintah akan menyiapkan bantuan yang lebih layak dan terstandar. Jika dibutuhkan, anggaran baru bisa digelontorkan untuk membeli kebutuhan sandang bagi warga terdampak bencana. Barang-barang tersebut, lanjutnya, akan dipasok dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri.
“Lebih baik kita beli barang-barang dalam negeri produk UMKM, dikirim ke bencana yang baru. Saya lebih baik mengeluarkan uang ke situ kalau terpaksa, dibanding pakai barang-barang balpres itu,” katanya.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) membuka kemungkinan penyaluran pakaian sitaan untuk keperluan kemanusiaan, menyusul penindakan terhadap kontainer dan truk bermuatan garmen ilegal. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC, Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan bahwa barang hasil penindakan otomatis berstatus sebagai barang milik negara. Penanganannya tidak terbatas pada pemusnahan. “Dihancurkan itu salah satu opsi. Itu bisa dimusnahkan atau untuk tujuan lain,” ujarnya.
Secara umum, terdapat tiga opsi tindak lanjut terhadap barang ilegal: dimusnahkan, dihibahkan, atau dilelang. Dengan proses pemulihan bencana di Sumatera yang masih berlangsung, Bea Cukai menilai hibah dapat menjadi pilihan.
“Siapa tahu saudara-saudara kita bisa memanfaatkan dan menggunakan. Sementara yang di Aceh membutuhkan,” kata Nirwala.
Namun, keputusan akhir berada di Kementerian Keuangan, yang menegaskan prioritasnya pada penyediaan barang baru yang lebih pantas bagi korban bencana, sekaligus mendukung produksi UMKM nasional. (ihd)













