JENDELANUSANTARA.COM, Jakarta — Bencana banjir dan longsor di pulau Sumatera telah merenggut banyak nyawa, menghancurkan infrastruktur, dan menyisakan ribuan desa serta rumah warga dalam kondisi hancur, membangkitkan tantangan besar bagi upaya pemulihan. Kini, selain menyelamatkan korban, pemerintah melalui Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) dan unsur terkait harus berjuang merekonstruksi “rumah yang hilang”, bukan sekadar bangunan, tetapi juga harapan bagi masyarakat terdampak.


Data Terkini BencanaMenurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 2 Desember 2025, korban tewas telah mencapai 712 jiwa
Sementara itu, jumlah warga dinyatakan hilang masih ratusan orang, dan korban luka serta warga terdampak mencapai ratusan ribu.
Untuk kerusakan fisik, data awal menunjukkan ribuan rumah rusak berat, sedang, maupun ringan,bbanyak di antaranya kemungkinan total hilang akibat tergerus banjir atau longsor.
Evakuasi masif telah dilakukan: lebih dari 33.000 jiwa berhasil diselamatkan dari tiga provinsi terdampak.
Data ini menunjukkan skala bencana yang luas: bukan sekadar kecelakaan alam, tetapi potret kehancuran struktural terhadap rumah, desa, dan kehidupan warga.
Pendekatan Pemerintah: Dari Tanggap Darurat ke Rehabilitasi & Rekonstruksi
Sejalan dengan pernyataan Menteri Desa PDT bahwa koordinasi dengan kementerian/lembaga serta pemerintah daerah akan digencarkan, pemerintah telah mulai mempersiapkan fase rehabilitasi dan rekonstruksi, mencakup pembangunan kembali rumah warga, kantor desa, dan fasilitas dasar seperti posyandu.
Menurut rencana awal, pemerintah menargetkan pemulihan secara cepat dan terukur, dengan timeline pemulihan dan rekonstruksi yang dapat dipantau publik. Hal ini diharapkan bisa mengembalikan kehidupan warga secara bertahap.
Namun, tantangan besar tetap mengintai: banyak desa terpencil, akses jalan terputus, dan data kerusakan serta jumlah rumah yang hilang belum semuanya tervalidasi, membuat proses pendataan dan distribusi bantuan menjadi sangat sulit.
Aspek Sosial & Lingkungan: ‘Rumah yang Hilang’ Juga Soal Kehidupan
Hilangnya rumah warga bukan h&nya soal kehilangan hunian — melainkan juga hilangnya mata pencaharian, ruang komunitas, serta akses pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan administrasi desa. Desa-desa yang dulu hidup tenang kini porak-poranda; banyak keluarga yang mengungsi, kehilangan identitas tempat tinggal, dan menghadapi ketidakpastian jangka panjang.
Di saat yang sama, bencana ini menyingkap kerentanan struktural: kerusakan lingkungan, tekanan terhadap daerah aliran sungai, dan potensi dampak deforestasi serta pengelolaan lahan jadi sorotan — hal yang perlu menjadi bagian dari strategi pemulihan jangka panjang agar “rumah yang hilang” tidak hilang lagi.
Harapan & Panggilan untuk Solidaritas
Pemulihan tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah. Diperlukan keterlibatan banyak pihak: masyarakat terdampak, komunitas lokal, organisasi kemanusiaan, dan publik luas. Program donasi, rehabilitasi lingkungan, serta rekonstruksi hunian —semuanya harus berjalan dengan transparan dan partisipatif.
Dengan komitmen yang tegas dan kolaborasi yang luas, “rumah yang hilang” tidak hanya bisa dibangun kembali, tetapi juga bisa menjadi fondasi baru bagi kehidupan yang lebih tangguh, berkelanjutan, dan manusiawi. (ihd)













