JENDELANUSANTARA.COM, Buleleng — Ratusan siswa sekolah menengah pertama di Kabupaten Buleleng, Bali Utara, masih mengalami kesulitan membaca. Di tengah derasnya arus digitalisasi, mereka justru belum mengenal huruf secara utuh. Sebagian bahkan belum bisa membaca sama sekali.
Di sebuah ruang kelas SMP negeri di Kecamatan Gerokgak, suasana hening saat seorang guru meminta murid membaca buku. Lima menit berlalu, tak satu pun suara terdengar. Di sudut kelas, seorang siswa tampak hanya membuka-buka halaman, tetapi tak membaca sepatah kata pun.
Kondisi serupa terjadi di sejumlah sekolah di Buleleng. Dinas Pendidikan Kabupaten mencatat, sebanyak 363 siswa SMP mengalami kesulitan membaca. Dari jumlah itu, 155 siswa masuk kategori Tidak Bisa Membaca (TBM) dan 208 lainnya Tidak Lancar Membaca (TLM). Data ini diungkapkan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Buleleng, Putu Ariadi Pribadi, Rabu (16/4/2025).
Menurut Ariadi, masalah literasi ini bukan semata soal akademik. Sejumlah faktor disebut turut memengaruhi, seperti minimnya motivasi belajar, gangguan disleksia, disabilitas, serta trauma akibat kekerasan atau perundungan. “Ada yang tidak bisa membaca karena pernah mengalami kekerasan di masa kecil,” ujar Ariadi.
Dampak pandemi Covid-19 juga memperburuk kondisi. Masa pembelajaran jarak jauh lebih dari satu tahun memperlebar kesenjangan literasi, khususnya bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Banyak di antara mereka melewati jenjang SD ke SMP tanpa kemampuan baca-tulis yang memadai.
Ketua Dewan Pendidikan Buleleng, I Made Sedana, menyebut lemahnya perhatian orangtua dan sistem pengajaran yang terlalu administratif sebagai penyebab lain. “Guru kebanyakan sibuk urus laporan, bukan fokus mengajar,” kata Sedana.
Ia menilai, rendahnya minat baca turut menjadi akar persoalan. Anak-anak lebih akrab dengan layar ponsel dibanding buku. “Disuruh baca tidak bisa. Tapi dikasih handphone, mereka bisa ketik cepat. Budaya menulis hilang,” ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Buleleng tengah menyiapkan sejumlah langkah. Ketua DPRD Buleleng, Ketut Ngurah Arya, mengusulkan program les tambahan di luar jam sekolah bagi siswa yang belum bisa membaca. Dana BOS disebut bisa dialokasikan untuk kebutuhan itu, termasuk menggandeng pihak ketiga jika diperlukan.
Namun, untuk saat ini, Dinas Pendidikan masih mengandalkan guru-guru yang ada. “Kami minta kepala sekolah menambah jam belajar membaca dan memberikan pendampingan khusus,” ujar Ariadi.
Fenomena ini menjadi ironi pendidikan di Buleleng. Di saat dunia bergerak cepat dalam teknologi informasi, masih ada ratusan anak yang belum mampu memahami huruf demi huruf di hadapan mereka. Mereka duduk di bangku sekolah, tetapi belum benar-benar mengenal dunia literasi. (ihd)













