JENDELANUSANTARA.COM, Jakarta – Dalam ruangan rapat yang hening di Istana Kepresidenan, Rabu (6/8/2025) siang, suara Presiden Prabowo Subianto meninggi. Di hadapan para menteri dan pejabat tinggi negara, ia menyampaikan tudingan yang tak biasa: ada aktor-aktor dalam sistem ekonomi Indonesia yang sengaja memiskinkan rakyat demi memperbesar pundi-pundi mereka.
“Kita tidak bisa dibohongi. Kita tidak bisa ditipu lagi,” katanya. “Ada pemain-pemain ekonomi yang hanya mau untung sebesar-besarnya, tak peduli rakyat menderita. Kalau perlu rakyat dimiskinkan terus supaya mereka bisa hisap kekayaan negara ini.”
Presiden Prabowo Subianto memimpin Sidang Kabinet Paripurna didampingi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Sidang Kabinet Paripurna ini merupakan yang kedelapan kalinya dalam pemerintahan Presiden Prabowo dan Wapres Gibran sejak keduanya resmi menjabat pada 20 Oktober 2024.
Ucapan Presiden bukan retorika politik menjelang sidang anggaran. Bagi sebagian pengamat dan pelaku ekonomi, ini sinyal bahwa istana mulai menaruh curiga terhadap keberlanjutan praktik-praktik ekonomi yang membiarkan ketimpangan melebar demi akumulasi kekayaan kelompok tertentu.
Sistem yang Membiarkan
Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Agus Surono, menilai bahwa apa yang disebut Presiden bukanlah sekadar dugaan. “Selama ini ada sistem yang membiarkan segelintir konglomerat menikmati rente dari berbagai sektor strategis, dari pangan, energi, hingga tambang,” ujar Agus. “Ini bukan sekadar soal pasar bebas, tapi soal siapa yang bisa memonopoli kebijakan.”
Ia menyebutkan contoh konkretnya: fluktuasi harga beras yang tak kunjung stabil kendati suplai diklaim aman. Di balik ketidakpastian itu, kata Agus, terdapat segelintir pelaku besar yang mengatur arus distribusi, menentukan harga di hulu hingga ke konsumen. “Mereka bukan hanya pemain pasar, tapi juga punya akses ke pembuat regulasi,” ujarnya.
Narasi tentang “musuh rakyat” dalam sistem ekonomi bukan kali ini saja muncul. Dalam beberapa kesempatan, bahkan sejak kampanye pemilu 2024, Prabowo kerap menyinggung ketidakadilan struktural yang membuat rakyat kecil sulit naik kelas.
Namun kali ini, nada bicaranya lebih tajam. Ia menyebut para aktor itu “menghisap darah rakyat”, dan pemerintah tak akan tinggal diam. “Kami tidak akan membiarkan praktik ekonomi yang hanya menyengsarakan rakyat. Ini saatnya kita koreksi sistem,” katanya.
Kritik dari Dalam
Pernyataan Presiden ini juga mengundang perhatian dari kalangan internal birokrasi. Seorang pejabat eselon I di Kementerian Koordinator Perekonomian yang enggan disebutkan namanya menyebut bahwa ucapan Presiden bisa ditafsirkan sebagai ketidakpuasan terhadap hasil kerja teknokrat yang terlalu tunduk pada mekanisme pasar.
“Ada desakan agar negara lebih aktif intervensi, terutama di sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup rakyat,” ujarnya. “Tapi kenyataannya, lobi-lobi ekonomi besar sering lebih didengar ketimbang suara nelayan, petani, atau buruh.”
Siapa yang Diuntungkan?
Dalam laporan Oxfam Indonesia tahun 2024, disebutkan bahwa 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai lebih dari 50 persen aset nasional. Ketimpangan ini tidak muncul secara kebetulan, melainkan akibat kebijakan fiskal dan moneter yang cenderung menguntungkan pemilik modal besar.
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis, Risa Maulida, menggarisbawahi peran negara yang kerap gamang dalam menjalankan fungsi distribusi kekayaan. “Presiden benar ketika menyebut ada yang sengaja memiskinkan rakyat, tapi jangan sampai ini hanya jadi slogan. Perlu keberanian mengoreksi kebijakan, bukan hanya mengoreksi lawan politik,” katanya.
Menuju Revisi Kebijakan?
Sidang Kabinet Paripurna hari itu bukan hanya ajang evaluasi kerja para menteri. Dalam pernyataan terakhirnya, Prabowo kembali menegaskan bahwa pemerintahan yang ia pimpin tidak akan membiarkan “sistem jahat” bertahan. “Kita duduk di sini bukan anak-anak kecil. Kita tahu siapa yang bermain,” katanya.
Namun siapa yang dimaksud Presiden belum terungkap. Di kalangan pelaku bisnis besar, pernyataan itu memunculkan kecemasan. Sejumlah asosiasi pengusaha memilih menunggu dan melihat apakah pernyataan Prabowo akan diterjemahkan dalam bentuk audit, pajak kekayaan, atau pengambilalihan kebijakan distribusi.
Yang jelas, medan pertarungan ekonomi kini bukan hanya soal pertumbuhan, tetapi soal keadilan: siapa yang harus terus membayar mahal, dan siapa yang terus memanen untung dalam senyap. (ihd)













