Delapan nama itu —Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, Alfa Eshad, Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, dan Gatot Widiartono— disebut jaksa sebagai kelompok yang memeras agen pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) selama periode panjang 2017–2025. Nilai pungutannya mencengangkan: Rp135,29 miliar, ditambah permintaan barang berupa sebuah Vespa Primavera 150 ABS dan satu Toyota Innova Reborn.
“Para terdakwa memaksa para pemberi kerja serta agen pengurusan RPTKA untuk memberikan sejumlah uang atau barang. Jika tidak dipenuhi, pengajuan RPTKA tidak akan diproses,” kata JPU, Jumat (12/12/2025).
Perdagangan Wewenang di Balik Layar Digital
RPTKA pada dasarnya adalah izin awal bagi pemberi kerja yang hendak mempekerjakan tenaga kerja asing. Semua prosesnya kini dilakukan melalui laman tka-online.kemnaker.go.id, tempat pemohon mengunggah dokumen dan menunggu pengesahan. Sistem itu dirancang untuk memangkas tatap muka dan menutup ruang manipulasi.
Namun, dakwaan jaksa menggambarkan sebaliknya. Di balik layar digital, permohonan yang seharusnya diproses otomatis sengaja dihentikan. Pemohon dibuat gelisah, tak mendapat notifikasi koreksi berkas, tak menerima jadwal wawancara Skype, hingga akhirnya datang langsung ke kantor Kemenaker untuk mencari jawaban. Di situlah, menurut dakwaan, permainan dimulai.
Proses tak bergerak kecuali ada uang di luar biaya resmi. Bila permintaan tak dipenuhi, dokumen Hasil Penilaian Kelayakan (HPK) tak diterbitkan dan pengesahan RPTKA tak pernah muncul.
Rincian Aliran Uang
Jaksa memaparkan rincian dugaan hasil pemerasan yang mengalir ke masing-masing ASN. Angkanya menunjukkan betapa praktik ini berjalan lama dan terstruktur.
Beberapa di antaranya:
Putri Citra Wahyoe: Rp6,39 miliar
Jamal Shodiqin: Rp551,16 juta
Alfa Eshad: Rp5,24 miliar
Suhartono: Rp460 juta
Haryanto: Rp84,72 miliar + 1 unit Innova Reborn
Wisnu Pramono: Rp25,2 miliar + 1 unit Vespa Primavera 150 ABS
Devi Anggraeni: Rp3,25 miliar
Gatot Widiartono: Rp9,48 miliar
Dakwaan menyebut tujuan pemerasan itu semata memperkaya diri para pelaku, memanfaatkan posisi mereka sebagai verifikator dan pejabat teknis perizinan.
Ancaman Pidana Berat
Dengan daftar panjang pungutan dan tekanan sistematis, kedelapan ASN itu kini menghadapi ancaman hukuman dalam Pasal 12e atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 dan Pasal 64 KUHP.
Sidang akan berlanjut pekan mendatang, sementara publik kembali mengingat satu hal: dalam era serbadigital, celah untuk memperjualbelikan kewenangan ternyata tak sepenuhnya tertutup. Justru, sebagaimana terungkap di ruang sidang itu, celah baru bisa muncul dari tangan mereka yang seharusnya menjaga integritas sistem. (ihd)













